Di media sosial, kita sering melihat curhatan anak muda yang merasa masa depan di Indonesia suram. Belakangan, ungkapan #kaburajadulu ramai dipakai, mulai dari meme hingga video TikTok. Bagi sebagian orang, ini hanya guyonan. Namun jika dibaca lebih serius, tagar ini adalah cermin keresahan generasi muda sekaligus tanda meningkatnya fenomena brain drain arus keluarnya anak muda berpendidikan ke luar negeri.

Media Sosial: Megafon Ketidakpuasan

Media sosial bukan hanya tempat berbagi hiburan, tapi juga pengeras suara bagi kekecewaan. Melalui TikTok, Instagram, dan X/Twitter, anak muda bisa langsung menyaksikan isu korupsi, sulitnya lapangan kerja, hingga biaya hidup yang mencekik. Fenomena ini sudah terlihat sejak #ReformasiDikorupsi pada 2019, ketika mahasiswa memanfaatkan media sosial untuk memperluas aksi protes. Ketidakpuasan yang dulu hanya terdengar di kampus, kini bisa menjadi percakapan nasional dalam hitungan jam.

Hal yang sama kini terjadi pada isu migrasi. Ketika pekerjaan sulit didapat dan kepercayaan pada pemerintah merosot, muncul dorongan untuk mencari peluang di luar negeri. Tagar #kaburajadulu pun menjadi ekspresi kolektif: kalau negeri tak memberi masa depan, lebih baik 鈥渒abur鈥 dulu.

Dari Kritik ke Imajinasi Global

Dulu, keluhan soal negara berhenti di obrolan warung kopi. Kini, kritik di media sosial menjadi wacana publik. Meme satir, video TikTok tentang sulitnya mencari kerja, hingga postingan soal mahalnya pendidikan memperkuat rasa frustrasi bersama. Masalahnya, ketika suara ini tak direspon serius oleh pemerintah, kritik berubah jadi sinisme.

Fenomena ini dikenal sebagai digital witnessing 鈥 menyaksikan realitas sosial orang lain secara langsung melalui media digital. Ketika sehari-hari timeline kita dipenuhi kisah sukses diaspora Indonesia di Australia, beasiswa di Jerman, atau peluang kerja di Jepang, maka imajinasi tentang 鈥渉idup lebih layak di luar negeri鈥 menjadi semakin konkret.

Di sinilah media sosial memainkan peran paradoksal. Di satu sisi, ia memperkuat kritik terhadap ketidakadilan domestik. Di sisi lain, ia membangun daya tarik global yang membuat anak muda semakin ingin mencari masa depan di luar negeri.

Dari sinisme itulah lahir imajinasi baru: keluar negeri sebagai solusi realistis. Media sosial juga memperkuat imajinasi global ini lewat digital witnessing. Anak muda bisa melihat bagaimana rekan mereka di Jepang, Jerman, atau Australia mendapatkan pekerjaan layak, layanan publik baik, dan pendidikan berkualitas. Migrasi tak lagi jadi mimpi, melainkan rencana konkret.

Yang menarik, media sosial bukan hanya tempat protes, tapi juga panduan keluar negeri. Komunitas pekerja migran di Facebook, grup WhatsApp mahasiswa, atau kanal Telegram diaspora rutin membagikan informasi tentang beasiswa, lowongan kerja, hingga tips hidup di luar negeri.

Dengan begitu, digital activism berfungsi ganda: sebagai saluran perlawanan terhadap kondisi domestik, sekaligus kompas migrasi. Dari 鈥渢eriakan kabur鈥 di media sosial, lahirlah strategi nyata untuk benar-benar pergi.

Alarm bagi Pemerintah

Fenomena #kaburajadulu seharusnya dibaca sebagai alarm, bukan sekadar hiburan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pengangguran terbuka masih didominasi oleh kelompok usia muda, bahkan yang bergelar sarjana. Laporan Bank Dunia juga menyoroti bahwa kualitas pekerjaan di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga.

Dampak brain drain tidak bisa dianggap sepele. Ketika anak muda terbaik memilih untuk bekerja atau belajar di luar negeri tanpa niat kembali, negara kehilangan modal sosial yang sangat berharga: kreativitas, tenaga produktif, dan ide-ide baru.

Padahal, bonus demografi yang saat ini dimiliki Indonesia hanya akan bertahan hingga 2030-an. Jika pada periode emas ini justru terjadi eksodus anak muda, maka kesempatan untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi bisa hilang begitu saja. Lebih jauh lagi, brain drain juga berpotensi menciptakan ketimpangan sosial baru. Mereka yang punya akses informasi dan modal untuk migrasi bisa meraih peluang global, sementara yang tertinggal di dalam negeri harus menghadapi situasi stagnan.

Yang perlu digarisbawahi, generasi muda Indonesia bukan apatis. Justru sebaliknya, mereka sangat vokal. Aksi-aksi demonstrasi, petisi digital, hingga kampanye media sosial menunjukkan tingginya partisipasi politik digital. Masalahnya, respons pemerintah sering kali lambat atau defensif. Alih-alih membuka ruang dialog, kritik anak muda justru sering dianggap sekadar keluhan emosional. Di titik inilah jurang kepercayaan melebar: anak muda merasa bersuara, tetapi tidak didengar. Ketika kanal partisipasi formal buntu, wajar bila kanal alternatif yaitu migrasi menjadi semakin menarik. Dengan kata lain, brain drain hari ini bukan hanya fenomena ekonomi, tetapi juga krisis representasi politik.

Penulis: Diego (Dosen Ilmu Komunikasi 杏吧原版影音)