Di zaman ketika suara publik mengalir deras lewat media sosial, setiap pernyataan tokoh publik tak lagi sekadar ucapan. Ia menjadi cermin integritas, menjadi penanda kepemimpinan, dan sering kali juga menjadi sumber kepercayaan atau sebaliknya, kekecewaan. Tidak terkecuali bagi para pemimpin dan wakil rakyat yang setiap katanya ditunggu, dianalisis, bahkan diuji secara terbuka oleh masyarakat.

Beberapa waktu terakhir, sejumlah tokoh dari kalangan legislatif menjadi perbincangan luas karena gaya berkomunikasi yang memicu reaksi beragam. Nama-nama seperti Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, hingga Ahmad Sahroni mencuri perhatian. Masyarakat menanggapi secara aktif pernyataan-pernyataan mereka yang dianggap kurang sejalan dengan sensitivitas publik bahkan melukai perasaan rakyat.

Namun sesungguhnya, dinamika ini bukan sekadar soal siapa yang berbicara atau apa yang dikatakan, tetapi lebih dalam dari itu. Ini adalah soal bagaimana seorang pemimpin menyampaikan pikirannya di tengah kepercayaan yang diberikan rakyat. Kata-kata bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana tanggung jawab. Dalam komunikasi publik, tutur kata adalah wajah dari amanah yang dipikul.

Dalam teori komunikasi klasik, Harold Lasswell menyebut bahwa komunikasi selalu melibatkan pertanyaan mendasar: siapa mengatakan apa kepada siapa, melalui saluran apa, dan dengan dampak seperti apa. Maka dalam ruang publik, komunikasi bukan semata soal isi pesan, tetapi juga konteks dan dampaknya. Kata yang tepat di waktu yang tepat akan membangun, sebaliknya kata yang keliru di ruang terbuka bisa mengikis kepercayaan publik.

Larry King, seorang maestro dalam dunia wawancara dan komunikasi, pernah mengatakan bahwa efek komunikasi tidak hanya terletak pada apa yang dikatakan, tetapi lebih kuat lagi pada bagaimana cara mengatakannya. Ia menekankan bahwa bahasa tubuh, intonasi, empati, dan pilihan kata akan membentuk persepsi tidak hanya terhadap pesan, tetapi juga terhadap karakter penyampainya. Dalam kata lain, publik bukan hanya mendengar isi, mereka merasakan niat dan nilai dari penyampai pesan.

Dari sudut pandang teori dramaturgi Erving Goffman, setiap individu dalam ruang publik memainkan peran layaknya aktor di panggung. Seorang pemimpin adalah figur yang tidak hanya ditonton, tetapi juga ditafsirkan. Maka, setiap pernyataan, ekspresi, hingga intonasi dalam berbicara akan dibaca sebagai bagian dari komunikasi yang membawa makna. Inilah yang membedakan komunikasi publik dari percakapan biasa. Apa yang disampaikan pemimpin di ruang publik bukan hanya didengar, tetapi juga dilihat dan dinilai. Setiap kata, gerak, dan cara menyampaikan akan membentuk kesan di mata publik. Maka tidak mengherankan jika masyarakat menaruh perhatian begitu besar terhadap gaya komunikasi para pejabat publik. Harapan mereka sederhana, agar para pemimpin mampu hadir bukan hanya dalam kebijakan, tetapi juga dalam empati. Ketika pemimpin bicara, suaranya adalah mewakili atau untuk rakyat. Ketika pemimpin menyampaikan pendapat, rakyat berharap itu lahir dari kesadaran dan kepekaan terhadap situasi yang rakyat hadapi.

Pendidikan komunikasi publik berbasis etika menjadi hal yang sangat penting untuk diperkuat. Lembaga legislatif dapat mengambil inisiatif untuk menyediakan pembekalan kepada para anggotanya, agar kehadiran mereka di ruang publik senantiasa mencerminkan kepercayaan yang telah diberikan rakyat. Komunikasi yang jujur, santun, dan mencerminkan empati akan jauh lebih berarti daripada sekadar kata-kata indah tanpa isi.

Yang tak kalah penting adalah kesadaran dari masyarakat sebagai pemilih. Demokrasi yang sehat memerlukan pemilih yang tidak hanya melihat popularitas, tetapi juga kapasitas dan integritas dalam berbicara. Karena seorang pemimpin, pada akhirnya, akan dikenang bukan hanya dari kebijakan yang ia buat, tetapi juga dari kata-kata yang ia ucapkan dalam situasi sulit, dalam momen krusial, dan dalam ruang publik yang menuntut kejujuran serta kepekaan.

Menjaga kata adalah bagian dari merawat amanah. Dalam dunia politik yang serba terbuka, satu ucapan bisa menjadi pijakan kepercayaan atau titik awal jarak antara rakyat dan wakilnya. Etika komunikasi bukan sekadar teori, melainkan praktik sehari-hari yang menentukan kualitas relasi antara pemimpin dan masyarakat.

Ke depan, harapannya adalah muncul pemimpin-pemimpin yang tidak hanya cakap dalam membuat kebijakan, tetapi juga peka dalam bertutur kata. Pemimpin yang tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir di hati rakyat melalui komunikasi yang jujur, santun, dan membangun karena rakyat mendambakan pemimpin yang tahu kapan harus bicara, bagaimana berbicara, dan lebih dari itu, tahu untuk siapa ia berbicara. Karena sejatinya, komunikasi publik yang beretika adalah jembatan yang menghubungkan harapan dengan kenyataan, suara dengan tindakan, dan rakyat dengan pemimpinnya.

Penulis: Dr. Ernita Arif, MSi (Dosen Ilmu Komunikasi UNAND)