Stunting kerap kita jelaskan dengan bahasa teknis 鈥渒ekurangan gizi kronis pada seribu hari pertama kehidupan鈥 tetapi sesungguhnya ia juga masalah komunikasi dan pengambilan keputusan di dalam keluarga. Di banyak kampung, pembagian peran tradisional masih kuat: ayah dicitrakan sebagai pencari nafkah, ibu sebagai pengasuh. Pola posyandu yang hampir seluruh pesannya ditujukan kepada ibu tanpa sengaja ikut menguatkan sekat itu. Ibu datang, menerima banyak informasi, mengangguk sopan, lalu pulang dengan daftar saran yang harus dieksekusi di dapur. Sementara ayah, yang menentukan belanja mingguan dan sering mendapat porsi 鈥渢erbaik鈥 di meja makan, tidak mendengar pesan yang sama. Di titik inilah energi posyandu sering bocor: nasihat bergizi berhenti di kepala yang letih, tidak pernah berjumpa dengan dompet yang memutuskan mana yang dibeli.
Riset lapangan menunjukkan banyak ibu memproses pesan kesehatan lewat jalur cepat patuh karena percaya pada sosok bidan dan suasana yang hangat, bukan karena sempat mencerna konsep-konsep yang rumit. Istilah seperti 鈥渋ndikator panjang badan per umur鈥 atau 鈥渄efisit energi kronis鈥 terdengar meyakinkan, tetapi mudah menguap saat ibu kembali ke rumah, berhadapan dengan anak yang susah makan, harga pangan yang naik turun, jam kerja ayah yang panjang, dan kebiasaan lama yang menempatkan 鈥渕akanan terbaik鈥 sebagai hak istimewa kepala keluarga. Sementara itu, ayah yang tidak pernah terpapar penjelasan langsung memutuskan menu berdasarkan rasa kenyang dan harga termurah, bukan prioritas gizi anak. Kesalahpahaman kecil semacam ini, diulang ratusan kali dalam ratusan rumah, dapat menumpuk menjadi statistik yang kelam.
Padahal, di banyak tempat lain, keterlibatan ayah terbukti menjadi pembeda. Ketika ayah memahami mengapa ASI eksklusif perlu dilindungi dari tekanan memberi makanan tambahan dini, ketika ia tahu mengapa telur, tempe, dan sayur harus 鈥渄iprioritaskan untuk piring kecil鈥 ketimbang menjadi lauk tambahan di piring orang dewasa, ketika ia ikut mengatur jadwal imunisasi dan menimbang anak, keputusan harian di rumah berubah arah. Satu kalimat ayah鈥渒ita sisihkan uang untuk menu anak dulu鈥 bisa menjadi kebijakan kecil yang dampaknya melampaui brosur apa pun.
Karena itu, yang perlu diubah bukan sekadar daftar saran, melainkan bingkai komunikasi. Posyandu mesti berpindah dari program 鈥渕aternal-only鈥 menjadi pendekatan yang menumbuhkan keputusan bersama. Caranya tidak harus menambah anggaran besar. Mulailah dari hal yang paling memudahkan ayah: jadwal yang ramah pekerja harian. Sesi sore hari atau akhir pekan setelah magrib, posyandu keliling yang mampir ke surau atau pertemuan kelompok tani, undangan yang jelas menyebut 鈥渉adir berpasangan鈥 semuanya isyarat sederhana bahwa ruang ini juga milik ayah. Setelah penimbangan, sediakan sudut konseling singkat untuk ayah-ibu: lima sampai tujuh menit saja, cukup untuk menyepakati belanja bergizi selama seminggu, memastikan jadwal imunisasi, dan membagi tugas harian yang konkret siapa yang menyiapkan sarapan, siapa yang mengantar ke posyandu, siapa yang memastikan anak minum air matang. Kita juga bisa memanfaatkan pengaruh sebaya: rekrut 鈥渄uta ayah鈥 pemuda masjid, pelatih futsal, atau ketua kelompok kerja yang fasih berbicara tentang gizi dari sudut pandang laki-laki: bagaimana menyiasati harga bahan makanan, bagaimana memasak cepat tapi bergizi, bagaimana menghadapi anak yang menolak sayur tanpa memarahi.
Tentu, mengundang ayah masuk bukan tanpa hambatan. Ada jam kerja yang kaku, ada rasa kikuk tampil di ruang yang selama ini dianggap 鈥渦rusan perempuan鈥, ada kebiasaan lama yang memanjakan orang dewasa lebih dulu, ada bahasa teknis kesehatan yang membuat orang biasa merasa 鈥渢idak pintar鈥. Di sinilah keberanian kita diuji: berani mengganti istilah yang rumit dengan bahasa sehari-hari 鈥渒urang gizi鈥 alih-alih 鈥渟tunting鈥 tanpa mengurangi ketepatan; berani menjadwalkan ulang agar lebih ramah; berani menyapa ayah sebagai mitra, bukan tamu. Yang sama pentingnya, kita perlu mengakhiri kebiasaan menyalahkan ibu seolah semua beban ada di pundaknya. Banyak ibu telah bekerja keras di dapur, di ladang, dan di ruang tunggu posyandu; yang mereka butuhkan adalah pasangan yang mendengar pesan yang sama dan siap berbagi tanggung jawab.
Pada akhirnya, pencegahan stunting bukan hanya soal menghitung kalori dan protein, melainkan tentang siapa yang memiliki informasi, siapa yang bersuara, dan bagaimana keputusan dibuat di meja makan. Jika selama ini ayah berdiri di luar jendela pengetahuan, sudah saatnya jendela itu dibuka lebar. Posyandu yang ramah ayah, konseling singkat berpasangan, duta laki-laki sebagai penggerak, pengingat digital yang sederhana, dan narasi visual yang menunjukkan pengasuhan sebagai kerja tim semuanya adalah langkah realistis yang bisa dilakukan sekarang juga. Ketika ayah dan ibu duduk berdampingan mendengar pesan yang sama, memilih belanja yang sama, dan mengeksekusi tugas yang sama, kita bukan hanya memperbaiki menu harian; kita sedang mengubah budaya pengasuhan. Dan di situlah, perlahan tapi pasti, statistik stunting mulai bergerak turun bukan karena kampanye yang nyaring di baliho, melainkan karena keputusan kecil yang konsisten di ribuan rumah tangga setiap hari.
Penulis: Yayuk Lestari (Dosen Ilmu Komunikasi 杏吧原版影音)
听
听

