Berbicara pembangunan tidaklah sekedar urusan proyek fisik atau infrastruktur seperti gedung dan jalan, melainkan ia adalah suatu proses yang kompleks. Di dalamnya ada dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Salah satunya yang terpenting dalam proses ini ialah partisipatif, di mana manusia bukan hanya menjadi objek, melainkan juga sebagai subjek aktif yang terlibat dalam arah pembangunan atau kebijakan. Di Indonesia, demonstrasi selalu terjadi setiap tahunnya, yang kemudian menjadi salah satu bentuk paling nyata dari partisipasi publik dan membawa dampak terhadap arah kebijakan.

Akhir-akhir ini, gelombang demonstrasi muncul di berbagai daerah di Indonesia, yang kemudian menyasar gedung DPR. Unjuk rasa ini dipicu beragam isu, dan paling utama ialah tuntutan 鈥17 Plus 8 Tuntutan Rakyat鈥. Aksi ini tidak hanya luapan kekesalan dan emosi sesaat, tetapi sebuah protes ketidakpuasan mendalam terhadap pemerintahan dan parlemen. Di sini kita lihat bahwa demonstrasi menjadi kontrol sosial yang powerful.

Masyarakat, mahasiswa dan sipil lainnya berdemonstrasi sebagai upaya menuntut akuntabilitas dan transparansi dari para wakil rakyat. Ketika saluran formal seperti audiensi atau petisi tidak lagi dinilai efektif, maka jalanan menjadi ruang publik alternatif untuk menyuarakan aspirasi. Dalam beragam kasus, tuntutan yang dibawa dalam demonstrasi sifatnya sangat substansial dan langsung menyentuh pada aspek pembangunan. Misalnya tuntutan mengesahkan RUU Perampasan Aset atau reformasi di tubuh kepolisian yang secara tidak langsung berkaitan dengan upaya menciptakan tata kelola yang bersih dan berkeadilan. Ini adalah bentuk partisipasi yang menjadi sebuah dorongan untuk melakukan perbaikan.

Apakah tuntutan-tuntutan tersebut dapat membawa dampak terhadap arah pembangunan ke depan?

Pertama, dorongan untuk transparansi dan akuntabilitas. Tuntutan ini mengharuskan DPR untuk mempublikasikan anggaran DPR. Karena hal ini sangat krusial dalam pembangunan, karena tanpa transparansi, korupsi dan inefisiensi akan terus menggerogoti sumber dayan negara.

Kedua, percepatan agenda legislasi yang pro-rakyat. Tuntutan tersebut menuntut DPR agar segera mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Meskipun proses legislasi membutuhkan waktu, tekanan dari rakyat atau sipil bisa mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Tanpa adanya tekanan atau demonstrasi, RUU tersebut mungkin akan terus tertidur di meja Parlemen.

Ketiga, paradigma pembangunan. Demonstrasi kali ini tidak lagi tertarik pada pembangunan fisik. Para demonstran menuntut pembangunan yang lebih politis. Isu seperti revisi KUHP atau reformasi hukum menjadi agenda pada tuntutan kali ini. Menandakan bahwa masyarakat semakin sadar pembangunan bukan hanya soal fisik, tetapi pembangunan yang ideal ialah mencangkup seluruh aspek kehidupan, tidak hanya yang terlihat di permukaan.

Lebih lanjut, tuntutan ini juga memberi ruang refleksi mengenai bagaimana pembangunan dipahami. Pembangunan tidak bisa hanya diukur dengan bertambahnya jalan, gedung, atau infrastruktur lainnya, tetapi harus dibarengi dengan pembenahan sistem politik, hukum, dan institusi negara. Dengan adanya desakan publik untuk reformasi KUHP, dan isu lainnya seperti; penghentian kriminalisasi demonstran, serta pembatasan peran militer dalam ranah sipil, terlihat jelas bahwa masyarakat menaruh perhatian besar pada aspek demokrasi dan hak asasi. Inilah sinyal kuat bahwa pembangunan politik menjadi syarat penting bagi terciptanya pembangunan yang lebih baik. Jika negara gagal merespons, ada risiko lahirnya jurang kepercayaan yang semakin lebar antara rakyat dan pemerintah. Sebaliknya, bila pemerintah berani menjadikan tuntutan ini sebagai pijakan kebijakan, Indonesia bisa melangkah menuju model pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga pada keadilan.

Secara sederhana, pembangunan yang partisipatif itu sendiri ialah di mana masyarakat turut serta merumuskan, mengawasi dan mengevaluasi jalannya pembangunan. Karna partisipasi tidak hanya terbatas pada forum resmi seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) tapi juga bisa melalui kanal non formal, termasuk aksi demonstrasi. Maka melihat demonstrasi dengan tuntutan 鈥17 plus 8 tuntutan rakyat鈥 ini, jelas memenuhi unsur partisipatif, yang mana tuntutan ini melibatkan partisipasi langsung masyarakat dan berbagai elemen lainnya, artinya inisiatif ini benar benar muncul dari bawah.

Merefleksikan kembali makna dari demonstrasi yang belakangan ini ramai di berbagai daerah, khususnya dengan tuntutan 17 Plus 8. Apa yang kita lihat di jalanan, di depan gedung-gedung pemerintahan, bukanlah sekadar kericuhan yang mengganggu ketertiban. Sebaliknya, itu adalah dinamika sosial dan politik. Ini adalah cara bagi masyarakat untuk menunjukkan bahwa mereka tidak akan pasrah dengan kondisi yang ada. Mereka adalah subjek yang aktif, bukan objek pasif, yang siap berkorban waktu dan tenaga untuk menuntut arah pembangunan yang lebih baik, lebih transparan, dan lebih berkeadilan.

Dalam konteks ini, demonstrasi menjadi bukti nyata bahwa partisipasi publik itu beragam, tidak selalu lewat bilik suara saat Pemilu. Dalam situasi di mana saluran formal terasa buntu atau tidak efektif, unjuk rasa menjadi jalan yang tak terhindarkan untuk memastikan suara rakyat didengar dan aspirasi mereka terwujud dalam kebijakan. Demonstrasi adalah sebuah pelajaran berharga tentang kekuatan partisipasi publik dan bagaimana bisa mengubah arah pembangunan suatu bangsa yang lebih baik.

Penulis: Zulkifli Surohamdani (Mahasiswa Ilmu Politik UNAND)