Gelombang demo besar-besaran terjadi di depan Gedung DPR RI pada 25 Agustus 2025 lalu. Aksi tuntutan ini juga turut meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Kejadian ini merupakan buntut dari menyebarnya di media sosial isu terkait kenaikan tunjangan DPR yang menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat. Tunjangan yang diberikan kepada DPR dinilai tidak sebanding dengan kinerja perwakilan rakyat yang dinilai tidak mewakili suara masyarakat kecil. Demonstran menuntut adanya pembubaran DPR serta pencabutan tunjangan yang dinilai berlebihan hingga mencapai Rp 100 juta per bulan. Padahal di sisi lain, banyak masyarakat Indonesia yang masih berada dalam garis kehidupan tidak layak dan belum mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Gejolak amarah publik kian meledak lewat banyaknya pernyataan anggota DPR RI yang melukai masyarakat tersebar di media sosial. Beberapa ungkapan anggota legislatif viral di tengah panasnya arus demonstrasi. Ahmad Sahroni, wakil ketua komisi III membuat publik marah lewat tanggapannya terhadap wacana pembubaran DPR. Ia mengatakan bahwa kritik masyarakat yang meminta pembubaran DPR sebagai sesuatu berlebihan dan menyebut mereka yang menggaungkan hal tersebut sebagai 鈥渙rang tolol鈥. Pernyataan itu membuat suasana semakin tegang sebab amarah publik semakin besar.

Seruan demo 25 Agustus bermula muncul lewat pesan berantai yang tersebar dari grup Whatsapp juga media sosial. Ajakan tersebut tersebar seminggu sebelum demo dilaksanakan dan dinamakan 鈥淩evolusi Rakyat Indonesia鈥. Menuju hari pelaksanaan demo, di berbagai platform media sosial terdapat banyak unggahan dalam bentuk meme, video atau gambar ajakan untuk bersuara, hingga tagar untuk menaikkan isu ini seperti #BubarkanDPR. Sebagai generasi paling melek terhadap teknologi, Gen Z berperan besar dalam membentuk opini publik dan menggerakkan massa melalui media sosial. General Manager YouGov Surveys Indonesia mengatakan sebanyak 60 persen dari pengguna media sosial itu Adalah gen Z. Sehingga, tidak heran apabila isu politik dengan mudah menyebar dan menarik perhatian di media sosial. Luapan emosi dan ajakan untuk memenuhi tuntutan disampaikan melalui Instagram, X, dan Tiktok, sebagai bentuk partisipasi mereka terhadap kondisi politik saat ini.

Data menunjukkan, polisi mengamankan 3.195 orang di seluruh Indonesia pada aksi demo yang berlangsung antara 25-31 Agustus 2025. Akibat dari perlawanan rutin masyarakat Indonesia yang mayoritas dipimpin oleh mahasiswa, demonstran aksi di lokasi diamankan oleh aparat. Namun bukan hanya mereka yang terkena imbas dari demo ini, pemerintah turut membatasi media sosial sebagai arus utama penyebaran informasi terkait aksi. Semenjak banyak yang mengabadikan demo melalui fitur siaran langsung di tiktok, pemerintah membatasi fitur tersebut selama beberapa hari dengan alasan moderasi konten. Kondisi ini menimbulkan spekulasi masyarakat luas bahwa ada upaya pembungkaman kritik oleh pemerintah. Sebab, fitur live tiktok mampu secara cepat menyebar ke pengguna media sosial secara luas. Masyarakat yang tidak secara langsung turun ke jalan semula dapat menyaksikan seluruh aksi demo dari berbagai sudut pandang melalui adanya siaran langsung di tiktok ini. Publik menduga pembatasan fitur siaran langsung tersebut karena adanya ketakutan pemerintah akan aksi demo yang bisa saja semakin menyebar dan mempengaruhi masyarakat luas.

Di era serba digitalisasi, partisipasi politik tidak hanya dalam bentuk turun langsung ke jalan. Faktanya, ajakan dan sebaran informasi di media sosial lebih berdampak besar dalam mempengaruhi keputusan politik. Unggahan serentak terkait aksi demo meledak di media sosial dan memenuhi linimasa sepanjang minggu terakhir bulan agustus. Akun - akun media sosial dengan jutaan pengikut turut meramaikan aksi ini lewat unggahan mereka. Sehingga, protes masyarakat terhadap kondisi yang tengah terjadi semakin panas. Puluhan ribu serangan melalui kolom komentar terhadap akun resmi pemerintahan ditemukan setiap harinya. Sejak demo ini berlangsung pada 25 Agustus lalu, kampanye dan unggahan tuntutan terhadap pemerintah khususnya DPR masih terus berlangsung hingga hari ini.

Namun, penggunaan media sosial tanpa batasan tentu juga menimbulkan efek negatif. Sejak aksi demo terjadi, disinformasi dan hoaks turut ramai beredar untuk semakin menyalakan amarah masyarakat. Akibat emosi masyarakat yang kian meledak karena adanya ketidaksesuaian informasi, demonstrasi yang mulanya sebagai bentuk partisipasi politik malah berubah menjadi kegiatan anarkisme. Jika sudah begini, masyarakat sipil lainnya turut menjadi korban kerusuhan. Tentu hal itu tidak masuk dalam semula diinginkan dan diperjuangkan Walaupun, aksi anarkis tersebut masih menjadi sebuah pertanyaan; apakah benar-benar dilakukan oleh demonstran atau pihak yang ingin mengadu domba massa?

Aksi demo terhadap DPR baru-baru ini menjadi gambaran bahwa partisipasi politik tidak hanya dapat dilakukan secara langsung di gedung parlemen. Suara - suara yang disebarkan di dunia maya turut menjadi penentu besar dalam pengambilan kebijakan. Hanya saja, penggunaannya bagaikan pisau bermata dua. Apabila tidak digunakan dengan bijak dan selektif, partisipasi politik di media sosial malah menjadi penyebab aksi lain yang tidak diinginkan. Jangan sampai inti tuntutan masyarakat menjadi hilang dan tertutupi oleh viralitas kejadian lain, sehingga fokus publik terhadap tuntutan yang ingin diwujudkan malah teralihkan. Generasi Z sebagai pengguna aktif media sosial perlu lebih bijak menggunakan platform yang ada dan memilah informasi yang disebarkan.

Penulis: Muhammad Agil Al Faras-Mahasiswa Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 杏吧原版影音