Di ekosistem media sosial yang serba terhubung, terarsip, dan mudah ditelusuri, mahasiswa khususnya Generasi Z semakin sadar bahwa jejak digital bukan sekadar 鈥減ostingan hari ini鈥, melainkan portofolio diri yang terus menempel. Dalam konteks inilah 鈥渁kun kedua鈥 (second account) hadir bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai perangkat manajemen privasi: sebuah cara menata batas privat鈥損ublik agar identitas, peran sosial, dan relasi tetap terjaga. Jika akun utama berfungsi sebagai etalase rapi, representatif, dan ditujukan pada audiens luas (keluarga, dosen, rekan kerja, institusi) maka akun kedua adalah ruang terbatas dengan pengikut terkurasi, tempat pemilik akun menetapkan aturan berbagi sesuai kebutuhan dan nilai-nilai personal.

Secara fungsional, akun kedua memungkinkan segmentasi audiens. Pengguna dapat memisahkan lingkar sosial berdasarkan kedekatan emosional, sensitivitas topik, atau relevansi peran, misalnya 鈥渢eman dekat鈥, 鈥渒omunitas hobi鈥, atau 鈥渢im proyek鈥. Segmentasi ini mengurangi risiko context collapse, yakni saat beragam audiens dengan harapan berbeda bertemu dalam satu ruang dan menafsirkan konten di luar konteksnya. Dengan memisahkan kanal, pengguna dapat menjaga konsistensi citra profesional di akun utama tanpa menekan ekspresi diri yang wajar di lingkar pertemanan terbatas. Dalam praktik, ini berarti unggahan portofolio, karya ilmiah, atau kegiatan kampus tetap tertata di kanal publik, sementara humor internal, eksperimen kreatif, atau curahan personal ditempatkan di kanal privat yang aksesnya lebih ketat.

Namun, keberhasilan segmentasi tidak berdiri sendiri. Ia bergantung pada 鈥渁turan berbagi鈥 (privacy rules) yang disusun secara sadar. Aturan ini setidaknya mencakup tiga dimensi. Pertama, berbasis isi: topik sensitif soal keluarga, keyakinan, afiliasi, atau opini yang belum matang hanya dibagikan pada audiens yang dipercaya memahami konteks. Kedua, berbasis waktu: memanfaatkan format temporal seperti stories untuk mengurangi jejak, serta meninjau ulang arsip secara berkala. Ketiga, berbasis peran: menyesuaikan bentuk dan gaya komunikasi dengan kapasitas sosial mahasiswa, panitia, peneliti, atau kreator agar tidak terjadi benturan ekspektasi antarperan. Dengan aturan yang jelas, pengguna dapat membentuk boundary antara informasi publik, semipublik, dan terbatas, sehingga meminimalkan salah paham maupun penyebaran di luar sasaran.

Di sisi lain, selalu ada residual risk (sisa risiko) yang tak bisa dihapus total. Tangkapan layar, penerusan pesan, perubahan relasi dengan pengikut, atau kebocoran perangkat dapat menjebol pagar privasi. Karena itu, manajemen privasi yang matang memadukan kontrol akses dan kontrol isi. Selain menggembok akun, pengguna perlu menerapkan kontrol berlapis: verifikasi dua langkah, kata sandi yang kuat dan unik, peninjauan berkala daftar pengikut, pembatasan metadata (lokasi, institusi), hingga kebiasaan meminimalkan data sensitif (nama lengkap pihak ketiga, alamat, jadwal perjalanan). Prinsipnya sederhana: anggap setiap hal yang dibagikan berpotensi tersebar, lalu putuskan dengan sadar apakah Anda siap menanggung konsekuensinya.

Akun kedua juga berkaitan erat dengan tata kelola personal dan impression management. Bagi mahasiswa, kehidupan daring sering merangkap banyak peran: warga kampus, anak dalam keluarga, bagian dari komunitas hobi, dan calon profesional. Menyatukan semua audiens dalam satu kanal sering kali tidak produktif dan menimbulkan tekanan untuk 鈥渢ampil sempurna鈥 setiap saat. Dengan kanal yang terpisah, seseorang bisa menjaga kredibilitas akademik di akun utama, misalnya menampilkan hasil riset, partisipasi konferensi, atau karya kolektif sekaligus mempertahankan ruang ekspresi yang cair dan apa adanya di akun kedua. Ini bukan memalsukan identitas, melainkan membingkai informasi sesuai konteks sehingga relevan, etis, dan proporsional.

Dalam perspektif literatur komunikasi, praktik ini dapat dibaca melalui dua kacamata. Pertama, pengguna menimbang manfaat berbagi (dukungan sosial, umpan balik, peluang kolaborasi) dengan potensi biaya (salah tafsir, penilaian negatif, risiko reputasi). Akun kedua meningkatkan kemungkinan manfaat tanpa sepenuhnya menghapus biaya, karena keuntungan diperoleh lewat pembatasan audiens dan pengaturan format. Kedua, affordance platform fitur yang memudahkan tindakan tertentu: visibilitas, persitensi (arsip), asosiasi (tagging), dan skalabilitas sebaran. Akun kedua 鈥渕engoprek鈥 affordance ini agar lebih selaras dengan kebutuhan subjek: visibilitas rendah, asosiasi terbatas, arsip yang dapat diawasi, dan sebaran yang terkendali.

Menariknya, akun kedua sering memantik miskonsepsi. Ada yang menganggapnya identik dengan 鈥渁kun alter鈥 yang liar dan tanpa kontrol, padahal sebagian besar pengguna menggunakannya untuk eksperimen kreatif, pengelolaan emosi, atau menjaga kesehatan mental semacam ruang di mana kegagalan, draf karya, dan ide mentah boleh bernapas sebelum muncul di panggung utama. Ada pula yang menyamakan akun kedua dengan 鈥渁kun cadangan鈥 untuk berjaga jika akun utama terkunci. Keduanya bisa tumpang tindih, tetapi fungsinya berbeda: yang pertama berorientasi pada manajemen audiens dan isi; yang kedua lebih ke redundansi teknis. Pembedaan ini penting agar tujuan komunikasi tetap jelas.

Akhirnya, nilai sebuah akun kedua bergantung pada kedewasaan penggunanya. Di ruang digital yang kian berporos pada visibilitas, kita seakan didorong untuk menukar semua sisi diri demi atensi. Akun kedua menawarkan rem dan kemudi: kesempatan untuk memperlambat, menata, dan merefleksi sebelum melaju lagi. Keberhasilan manajemen privasi bukan ditakar dari seberapa rapat pagar yang kita pasang, melainkan dari ketepatan keputusan berbagi siapa yang perlu tahu, untuk tujuan apa, dan dalam kerangka etika yang menghargai diri sendiri serta orang lain. Dengan cara ini, mahasiswa dan sivitas akademika dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana jejaring dan karya, sembari menjaga kendali agar informasi pribadi tetap berada di tangan yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dengan makna yang tepat.

Penulis: Diego (Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNAND)