Di zaman serba terkoneksi, lini masa kita dipenuhi cerita bahagia liburan ke destinasi eksotis, foto hangat bersama teman, hingga unggahan pencapaian karier yang memantik decak kagum. Di balik keramaian itu kerap muncul kegelisahan halus: 鈥淜enapa hidup orang lain tampak lebih seru dari milik kita?鈥 Perasaan ini dikenal sebagai Fear of Missing Out (FoMO), rasa takut tertinggal dari pengalaman, momen, atau percakapan sosial yang dianggap penting. FoMO bukan sekadar soal iri; ia tumbuh dari cara kita hadir di ruang yang menilai keberadaan lewat jejak digital.
Di media sosial kita merapikan diri memilih angle terbaik, menghapus yang kusut, menulis caption yang terdengar bermakna bukan berarti palsu, hanya versi paling rapi. Masalahnya, saat menatap versi terkurasi milik orang lain, kita lupa bahwa hidup sendiri juga punya banyak halaman yang tak pernah terunggah. Platform mendorong lupa: algoritma menyodorkan konten paling menggoda, gulir seakan tak berujung, notifikasi memecah fokus, otak tak sempat istirahat. Hadirlah social media fatigue lelah kognitif, emosional, dan sosial: fokus buyar, tidur terganggu, dan ada rasa kosong setelah maraton video pendek.
Budaya performatif mengubah 鈥渉adir鈥 menjadi 鈥渉arus tampil鈥; angka like, view, dan share menjadi meteran tak terlihat namun terasa, perhatian menjadi komoditas. Varian halusnya ialah FoMO produktivitas: di LinkedIn atau Instagram, sertifikat, kelas baru, side project, dan beasiswa berderet di layar; diam terasa bersalah, pelan terasa kalah, takut melewatkan pesta berubah menjadi takut melewatkan kesuksesan. Relasi parasosial dengan influencer menambah bara; kedekatan semu membuat standar hidup mereka kita pasang pada diri sendiri, sehingga FoMO melebar dari teman ke selebritas, dari kabar ke gaya hidup, dari kebiasaan ke belanja.
Di Indonesia, norma 鈥渟elalu tersedia鈥 mempertebal tekanan: grup WhatsApp keluarga, kantor, RT, dan komunitas menuntut respons cepat; telat balas dianggap tak sopan; 鈥渟udah dibaca belum?鈥 menjadi beban. FoMO bertemu tuntutan sosial dan melahirkan techno-stress: seolah harus selalu online. Kita hadir di banyak ruang tetapi tipis dan serba tanggap, sementara pengalaman makin terkomodifikasi; tanpa rekaman, momen terasa hilang. Kamera bergeser dari alat mengingat menjadi syarat pengakuan momen; percakapan patah oleh layar; keintiman bergerak dari tatap mata ke emoji; relasi terasa terhubung karena saling melihat story, padahal jarang sungguh bertemu.
Di tengah arus itu, banyak dari kita memilih langkah sederhana agar media sosial tetap berada di bawah kendali, bukan sebaliknya. Centang biru di WhatsApp dimatikan agar tidak merasa terburu-buru membalas pesan. Kebiasaan membagikan detail personal apa yang dimakan atau lokasi yang dikunjungi, dikurangi demi menjaga ruang privat. Momen dinikmati apa adanya; kebahagiaan sah dirayakan tanpa kamera. Praktik-praktik kecil ini bukan penolakan terhadap media sosial, melainkan jarak sehat yang mengingatkan bahwa hidup lebih besar daripada notifikasi.
Solusinya bukan menutup semua akun. Media sosial juga membawa kebaikan: ruang belajar, jejaring, kolaborasi, dan panggung bagi suara yang dulu tak terdengar. Kuncinya menata tempatnya: penggunaan dijadwalkan pada jam tertentu, notifikasi nonprioritas dimatikan, 鈥渓ibur digital鈥 harian diberi ruang walau singkat, dan linimasa dikurasi agar lebih penuh makna daripada tekanan dengan mengingat bahwa feed adalah etalase, bukan buku harian lengkap. Pelan-pelan kita berlatih JOMO, Joy of Missing Out: membiarkan pesan menunggu tanpa rasa bersalah, merayakan momen tanpa kamera, dan menerima bahwa tidak semua hal perlu diketahui saat itu juga.
Pada level komunitas, kampus, atau kantor, ekologi digital yang lebih manusiawi dibangun bersama: penundaan balasan di luar jam kerja dinormalkan dan etika berkabar dibiasakan agar tidak menuntut tanggapan instan. Tubuh pun diberi jeda yang kasatmata: ponsel disimpan di ruangan lain saat tidur, buku atau alat gambar menggantikan 鈥渟croll refleks鈥, dan langkah kaki singkat tanpa earphone memberi ruang bagi pikiran mengendap. Ini bukan romantisme analog, melainkan cara memberi ruang bernapas bagi otak.
Pada akhirnya yang dicari bukan hanya bebas dari FoMO, melainkan rasa cukup: cukup tahu yang penting, cukup hadir untuk yang terdekat, cukup percaya bahwa hidup punya tempo yang tidak harus sama dengan tempo algoritma. Tidak semua peluang untuk kita, tidak semua percakapan perlu didengar, tidak semua momen wajib dibagikan dan itu baik-baik saja. Kita tidak sedang kehilangan dunia digital; kita sedang menata ulang tempatnya dalam hidup. Sebab momen paling menghangatkan sering terjadi di luar frame: obrolan panjang tanpa filter, senyum yang tidak terekam, kebaikan kecil yang tidak pernah viral. Jika ada yang pantas dikejar, mungkin bukan kabar terbaru di lini masa, melainkan kesempatan untuk hadir utuh di sini, sekarang, bersama orang-orang yang kita sayangi.
Penulis: Yayuk Lestari (Dosen Ilmu Komunikasi UNAND)