Setiap kali berkunjung ke sebuah kota, kita sering disambut dengan slogan di gerbang kota: Smart City, Friendly City, atau Creative City. Tapi pertanyaan sederhananya: apakah warganya sungguh merasakan makna dari kata-kata itu? Apakah identitas kota benar-benar hidup di jalanan, di pasar, di ruang publik, dan di perilaku warganya atau hanya berhenti sebagai jargon di baliho?
Kota Padang, ibu kota Sumatera Barat, juga tak luput dari dinamika itu. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk menata wajah kota mulai dari revitalisasi Pantai Padang, pembangunan taman kota, hingga penyelenggaraan festival budaya. Namun di tengah upaya memoles citra, muncul pertanyaan penting: apa sebenarnya “rasa” yang ingin dihadirkan Padang? Apa yang membedakan Padang dari kota-kota pesisir lain di Indonesia?
City branding sejatinya bukan tentang logo atau tagline baru. Ia adalah upaya kolektif membangun citra, reputasi, dan kebanggaan atas jati diri kota. Dalam bahasa sederhana, city branding adalah tentang rasa, rasa memiliki, rasa bangga, dan rasa percaya diri terhadap identitas lokal. Kota yang punya rasa akan lebih mudah dikenali dan dicintai, bukan hanya oleh pendatang, tapi terutama oleh warganya sendiri.
Padang memiliki modal besar untuk membangun city branding berbasis kearifan lokal. Di sini hidup falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS–SBK), yang mengatur keseimbangan antara nilai adat dan ajaran agama. Nilai itu tercermin dalam tata ruang kampung, dalam cara orang berkomunikasi, dan dalam budaya saling menghormati di ruang publik. Identitas Minangkabau bukan sekadar simbol budaya, melainkan “DNA kota” yang membentuk rasa hidup sehari-hari.
Kearifan lokal inilah yang semestinya menjadi fondasi city branding Padang. Kota ini memiliki rasa Minang yang khas perpaduan antara religiusitas, kehangatan sosial, dan semangat merantau yang kosmopolitan. Di meja makan, rasa itu hadir dalam rendang, sambal lado hijau, dan sala lauak. Di ruang sosial, ia hidup lewat gotong royong, musyawarah, dan keramahan warganya. Di ruang spiritual, rasa itu hadir lewat kesantunan, ketaatan, dan sikap saling menghargai. Semua ini membentuk narasi kuat bahwa Padang bukan sekadar kota pesisir, tapi kota yang hidup dari harmoni adat, agama, dan budaya.
Namun, city branding yang otentik tidak bisa berhenti di tataran simbol. Ia harus menyatu dalam kebijakan publik, tata ruang, dan partisipasi warga. Jika Padang ingin dikenal sebagai “kota ramah”, maka trotoar, taman, dan layanan publik harus benar-benar ramah bagi semua kalangan. Jika ingin menjadi “kota kreatif”, ruang ekspresi bagi seniman, UMKM, dan komunitas muda harus terbuka luas. Branding sejati bukan diluncurkan lewat konferensi pers, tetapi dirasakan lewat pengalaman sehari-hari warga dan pengunjung.
Era digital memberi peluang baru bagi city branding Padang. Identitas kota kini terbentuk bukan hanya lewat promosi resmi pemerintah, tapi juga dari cerita warga di media sosial foto senja di Pantai Padang, ulasan kuliner di Bukittinggi Corner, atau video festival budaya di GOR H. Agus Salim. Setiap unggahan warga adalah narasi kecil yang membangun citra kota. Karena itu, warga harus dilibatkan bukan sekadar sebagai penonton, tetapi sebagai co-creator yang menyebarkan kebanggaan dan rasa memiliki terhadap kotanya.
Langkah pertama untuk membangun branding yang kuat adalah menemukan “DNA kota”: apa yang membuat Padang unik, berbeda, dan berharga di mata orang lain? Jawaban itu tidak ditemukan di ruang rapat, tapi di pasar tradisional, di upacara adat, di ruang kuliner, dan di kehidupan sehari-hari. Dari sanalah bisa lahir satu narasi payung misalnya “Padang Punya Rasa”yang mengikat seluruh aspek promosi, mulai dari festival budaya, produk lokal, hingga strategi pariwisata digital.
Slogan ini bukan sekadar permainan kata. “Padang Punya Rasa” bisa menjadi pernyataan identitas yang mengandung makna luas. Rasa kulinernya yang mendunia, rasa sosialnya yang hangat dan terbuka, serta rasa religiusnya yang menenangkan. Inilah kekuatan sejati Padang: kota yang tidak meniru, tetapi menumbuhkan jati dirinya sendiri dari akar budaya Minang.
City branding berbasis kearifan lokal bukanlah nostalgia masa lalu, tetapi strategi masa depan. Ia menyatukan ekonomi, budaya, dan kebanggaan sosial dalam satu narasi yang berkelanjutan. Ketika kota punya rasa, warga merasa memiliki; dan ketika warga bangga, dunia akan memperhatikan.
Padang tak perlu bersaing menjadi kota paling modern atau paling ramai. Ia hanya perlu menjadi kota yang paling otentik dalam menyapa melalui keramahan warganya, cita rasa kulinernya, keindahan alamnya, dan konsistensi tindakannya. Karena sejatinya, city branding bukan janji di spanduk, melainkan janji yang ditepati setiap hari oleh kota dan warganya sendiri.
Penulis: Revi Marta (Dosen Ilmu Komunikasi UNAND)

