Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan pemerintahan Prabowo Subianto pada awal 2025, hadir dengan janji besar untuk menyediakan makanan bergizi bagi 82 juta anak sekolah. Tujuannya sangat mulia yakni untuk membangun generasi sehat dan cerdas sebagai fondasi visi "Indonesia Emas." Lebih dari sekadar gizi, program ini menjadi simbol komitmen negara kepada anak-anaknya, dari Sabang hingga Merauke. Namun, harapan itu kini memudar di tengah kenyataan pahit. Lebih dari 7.000 anak dilaporkan keracunan setelah menyantap makanan dari program ini. Kasus terbaru di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, di mana puluhan siswa dilarikan ke rumah sakit karena makanan yang diduga tak layak, menjadi bukti nyata kegagalan ini. Krisis ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga guncangan terhadap kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Di balik piring sekolah yang dijanjikan bergizi, ada masalah pelaksanaan yang kurang tepat, pengelolaan yang belum optimal, dan kekhawatiran yang kini dirasakan orang tua di Indonesia.
Bayangkan seorang ibu di Jawa Barat yang mengizinkan anaknya menikmati makan siang gratis di sekolah, berharap anaknya mendapat gizi lebih baik. Namun, kabar buruk datang: anaknya muntah-muntah karena makanan yang ternyata mengandung belatung. Di Kalimantan, kisah serupa terjadi dengan hiu goreng yang tak layak konsumsi, memicu keracunan massal. Realitas ini jauh dari visi "revolusi gizi" yang dijanjikan. Sejak Januari 2025, laporan keracunan terus bermunculan, dari Jawa hingga Papua, menciptakan trauma yang tak hanya dirasakan anak-anak, tetapi juga orang tua yang kini memandang makanan sekolah dengan curiga. Survei informal dari BBC menunjukkan ribuan orang tua menolak anak mereka menyentuh makanan MBG. Seorang ibu bahkan berkata di media sosial, "Ini bukan gizi, ini racun dari pemerintah!" Ketakutan ini bukan sekadar reaksi sesaat, melainkan cerminan retaknya ikatan antara rakyat dan negara, di mana janji kampanye bertabrakan dengan kenyataan di lapangan.
Kegagalan MBG tak lepas dari masalah pengelolaan di tingkat lokal. Banyak kontraktor yang ditunjuk untuk menyediakan makanan mengabaikan standar kebersihan demi menekan biaya. Laporan Tempo mengungkap bahwa beberapa pemasok, yang sering punya koneksi politik, memilih bahan baku murah tanpa pengawasan ketat, menghasilkan makanan yang jauh dari standar gizi. Di sejumlah daerah, makanan bahkan basi atau terkontaminasi sebelum sampai ke siswa. Ketika kasus-kasus ini terungkap, respons pemerintah terasa lamban. Prabowo memerintahkan Kepala Badan Gizi Nasional untuk menyelidiki, dengan rencana mendirikan 31.000 Satuan Pengawas Pangan Gizi. Namun, langkah ini terkesan sebagai solusi terlambat. Alih-alih membuka dialog terbuka dengan masyarakat, misalnya melalui laporan publik atau audit independen, pemerintah cenderung menyalahkan faktor eksternal seperti cuaca atau rantai pasok. Sikap ini memperdalam ketidakpercayaan, membuat orang tua merasa suara mereka tak didengar.
Dampak krisis ini melampaui soal kesehatan. Ketika anak-anak jatuh sakit karena program yang seharusnya melindungi, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah runtuh. Di Kabupaten Banjar, DPRD setempat menuntut investigasi menyeluruh, menunjukkan betapa seriusnya dampak lokal dari kegagalan ini. Di media sosial, tagar seperti #StopMBG dan #GiziBukanRacun menjadi wadah kemarahan publik, mencerminkan bagaimana krisis ini merembet ke ranah digital. Daftar kasus keracunan massal di Wikipedia sejak Januari 2025 mencatat puluhan insiden, menggambarkan pola kegagalan yang bukan kebetulan, melainkan akibat sistem yang rapuh. Banyak orang tua kini memilih mengemas bekal sendiri, meski itu membebani keuangan keluarga. Trauma ini tak hanya menghentikan partisipasi dalam MBG, tetapi juga melemahkan kepercayaan terhadap inisiatif pemerintah lain, menciptakan lingkaran ketidakpercayaan yang sulit diputus.
Krisis ini juga menyingkap ketimpangan antara visi besar pemerintah pusat dan realitas di daerah. MBG dirancang di Jakarta dengan anggaran triliunan, tetapi pelaksanaannya di tingkat lokal sering kacau. Banyak sekolah kekurangan fasilitas penyimpanan makanan, dan pengawasan kualitas pangan nyaris tidak ada. Ketimpangan ini bukan hanya soal logistik, tetapi juga kurangnya keterlibatan komunitas lokal. Jika pemerintah melibatkan orang tua, guru, atau UMKM lokal sejak awal, banyak masalah mungkin bisa dicegah. Pendekatan terpusat justru menciptakan celah antara kebijakan dan kebutuhan masyarakat, membuat MBG terasa seperti proyek elitis yang jauh dari realitas rakyat.
Sebagai mahasiswa ilmu politik semester ketiga, saya melihat krisis ini sebagai panggilan untuk perubahan. MBG tidak bisa diteruskan dalam bentuknya saat ini. Pemerintah perlu beralih ke model yang melibatkan komunitas lokal dalam pengelolaan dan pengawasan. Seleksi pemasok harus transparan, dengan audit ketat oleh pihak independen seperti KPK atau LSM terpercaya. Komunikasi dengan masyarakat juga harus diperbaiki, misalnya melalui platform digital untuk laporan real-time tentang kualitas makanan. Langkah-langkah ini bukan hanya soal memperbaiki MBG, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik yang terluka. Program yang seharusnya menyatukan bangsa kini justru memecah belah, dan hanya dengan transparansi serta keterlibatan rakyat, kepercayaan itu bisa kembali dibangun.
Krisis Makan Bergizi Gratis adalah pengingat bahwa janji politik harus diwujudkan dengan tindakan nyata. Ketika anak-anak bisa makan dengan aman di sekolah, tanpa takut racun di piring mereka, barulah kita bisa bicara tentang Indonesia yang benar-benar maju. Hingga saat itu, MBG tetap menjadi luka terbuka bukan hanya di perut anak-anak, tetapi juga di hati bangsa.
Penulis:ÌýGiana Dwita Syakila (Mahasiswi Departemen Ilmu Politik, ÐÓ°ÉÔ°æÓ°Òô)