Menjelang gelaran pilkada pada tahun 2024 kemarin, suhu politik di berbagai daerah memanas. Maraknya ikon-ikon partai yang bertebaran, mulai dari baliho para calon kandidat yang bertebaran di pinggir jalan, mesin politik mulai digerakkan, dan elite-elite partai kembali turun dan tampil kepada masyarakat dengan berbagai narasi dan janji-janji yang disampaikan baik di tingkat daerah maupun pusat. Di tengah gegap gempita masa itu, muncul satu pertanyaan reflektif yang seharusnya kita renungkan: Apakah partai politik masih berperan dalam penyaluran aspirasi rakyat, atau hanya sekedar mesin elektoral yang hidup dalam lima tahun sekali.

Dalam teori politik klasik, partai politik adalah 鈥渏embatan鈥 artinya partai politik bagaikan sebuah jembatan yang menghubungkan antara masyarakat dan pemerintah. Almond dan Powell (1996) pernah menyebutkan bahwa fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan adalah inti peran sebuah partai di dalam sistem demokrasi. Artikulasi berarti menyalurkan aspirasi dan tuntutan masyarakat; sedangkan agregasi ialah pengelompokan tuntutan-tuntutan rakyat menjadi utuh untuk agenda kebijakan yang nanti dapat diperjuangkan di kursi pemerintahan. Melalui fungsi inilah partai seharusnya menjadi repreaentasi atas kehendak rakyat, bukan hanya sekedar alat kekuasaan.

Namun saat ini, realitas politik di Indonesia menunjukkan gejala yang berlawanan. Banyak kita lihat partai justru semakin jauh dari rakyat. Orientasi tentang kekuasaan lebih menonjol dibanding orientasi tentang pelayanan publik. Nyatanya partai begitu aktif menjelang pemilu: mulai dari menggelar rapat, deklarasi, hingga kampanye besar-besaran. Tetapi setelah agenda pemilu itu usai aktivitas tentang rakyat itu redup seakan tidak penting. Rakyat mulai di abaikan, dibiarkan, aspirasi rakyat jarang diolah menjadi kebijakan, bahkan banyak kader-kader di daerah yang kehilangan arah karena struktur partai yang tidak berjalan.

Kondisi seperti ini menandakan telah lemahnya fungsi partai politik sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan. Di berbagai daerah, forum diskusi pendapat publik jarang dilakukan. Partai lebih sering hadir atau aktif hanya ketika butuh suara untuk mendapatkan kursi pemerintahan, bukan ketika masyarakat memerlukan pendampingan dan pendidikan politik. Akibatnya, partai kehilangan legitimasi sosialnya, rakyat mulai hilang kepercayaan terhadap pemerintah dan merasa tidak memiliki ruang untuk berbicara dalam sistem politik, padahal sebenarnya merekalah pemilik kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi.

Fenomena ini turut tercermin di dalam survei tingkat kepercayaan publik. Lembaga survei seperti Indikator Politik Indonesia dan LSI kerap kali menempatkan partai politik sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan yang paling rendah dibanding TNI, KPK dan lembaga lainnya. Rendahnya kepercayaan publik ini tidak muncul tanpa sebab. Rakyat menilai partai politik terlalu sering terjebak dalam kepentingan pragmatisme: mulai dari perebutan kursi pemerintahan, politik uang sebagai alat transaksi dalam merebut kekuasaan, hingga dinasti politik yang dibangun untuk mewariskan kekuasaan. Hal ini yang membuat rakyat kehilangan kepercayaan terhadap elite-elite politik dan partisipasi pemilu kerap hanya menjadi kewajiban untuk memenuhi sistem demokrasi, bukan lagi untuk memperjuangkan hak dalam kehidupan bernegara. Ketika rakyat tidak lagi melihat partai sebagai pembela, pejuang, dan jembatan terhadap kepentingan mereka, maka demokrasi sebenarnya sudah mulai di tahap kehilangan nyawa dalam representasinya.

Padahal, jika fungsi partai politik itu dijalankan dengan sungguh-sungguh ini bisa menjadi langkah yang strategis dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Partai adalah kanal utama untuk membangun komunikasi dua arah antara pemerintahan dan rakyatnya. Melalui partai, aspirasi di tingkat daerah bisa naik ke nasional dan kebijakan nasional bisa terimplementasikan kembali kepada rakyat. Ketika fungsi ini berjalan, rakyat akan merasa memiliki sistem politiknya sendiri.

Sebenarnya ini belum terlambat, fungsi tersebut bisa dibangunkan kembali dari tidurnya melalui pembenahan yang serius. Pertama, membuka kanal partisipasi publik yang lebih luas. Di era yang serba digital ini, partai seharusnya memanfaatkan teknologi untuk mendengar aspirasi rakyat dengan mudah, bukan sekedar menyebarkan konten kampanye. Misalnya forum aspirasi daring, survei publik, atau dialog virtual dapat menjadi sarana baru agar rakyat bisa berpendapat langsung kepada partai.

Kedua, memperkuat peran kader dimulai dari akar rumput. Partai harus kembali ke basis masyarakat seperti ke desa, kampus, dan komunitas. Kader bukan hanya juru kampanye, melainkan penghubung yang mampu menampung dan menyalurkan aspirasi warga mulai dari lokal sampai ke tingkat pembuatan kebijakan. Ketiga, partai perlu membangun mekanisme transparansi dan akuntabilitas internal agar keputusan yang diambil benar-benar merefleksikan suara publik dan aspirasi masyarakat terimplementasikan, bukan hanya hasil kesepakatan elite serta kelompok tertentu.

Selain itu, partai juga perlu menjalankan fungsi pendidikan politik yang konsisten. Pendidikan politik bukan sekedar seminar menjelang pemilu, melainkan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran warga tentang hak dan tanggung jawab politiknya. Dengan masyarakat yang melek politik, demokrasi akan tumbuh lebih sehat, dan partai akan lebih mudah menjalankan fungsi representasinya.

Seharusnya pilkada 2024 menjadi kesempatan partai dalam membuktikan bahwa mereka masih layak dipercaya. Sebenarnya, rakyat tidak menuntut kesempurnaan tetapi kehadiran. Partai yang rajin turun ke masyarakat, mendengarkan keluhan dan konsisten dalam memperjuangkan aspirasi mereka pasti akan mendapat tempat di hati publik. Sebaliknya partai yang hanya muncul menjelang pemilu akan terus ditinggalkan pemilihnya.

Pada akhirnya demokrasi bukan hanya soal prosedur pemilu, tetapi juga partisipasi dan representasi. Jika partai berhenti mendengarkan rakyat, maka demokrasi nyaris kehilangan maknanya. Karena itu, muncul pertanyaan 鈥渕asihkah partai berada di sisi masyarakat dan menjadi penyalur aspirasi rakyat?鈥 ini bukan hanya sekedar kritik, tetapi juga panggilan moral bagi semua aktor politik agar bisa mengembalikan esensi perjuangan politik: mendengar, mewakili, dan memperjuangkan rakyat.

Penulis: Tanzilla Wulandari, mahasiswa Ilmu Politik, 杏吧原版影音