听听
听 ![]()
Berita UNAND
- Details
- Hits: 348
Media sosial sering terasa seperti korek api di saku: sekali gesek, timbul nyala yang membuat orang menoleh. Tetapi pada hembusan pertama algoritma berganti, isu baru datang api itu padam. Kemenangan cepat berupa jumlah tayangan dan komentar sering membuat kita lupa bahwa opini publik yang benar-benar menempel tidak lahir dari keriuhan, melainkan dari pengulangan, notulen, dan pertemuan yang membosankan. Singkatnya, kecepatan digital harus bertemu ketekunan kerja offline. Api di layar hanya berarti jika ada tungku di lapangan.
- Details
- Hits: 360
Di zaman serba terkoneksi, lini masa kita dipenuhi cerita bahagia liburan ke destinasi eksotis, foto hangat bersama teman, hingga unggahan pencapaian karier yang memantik decak kagum. Di balik keramaian itu kerap muncul kegelisahan halus: 鈥淜enapa hidup orang lain tampak lebih seru dari milik kita?鈥 Perasaan ini dikenal sebagai Fear of Missing Out (FoMO), rasa takut tertinggal dari pengalaman, momen, atau percakapan sosial yang dianggap penting. FoMO bukan sekadar soal iri; ia tumbuh dari cara kita hadir di ruang yang menilai keberadaan lewat jejak digital.
- Details
- Hits: 405
Setiap kali berkunjung ke sebuah kota, kita sering disambut dengan slogan di gerbang kota: Smart City, Friendly City, atau Creative City. Tapi pertanyaan sederhananya: apakah warganya sungguh merasakan makna dari kata-kata itu? Apakah identitas kota benar-benar hidup di jalanan, di pasar, di ruang publik, dan di perilaku warganya atau hanya berhenti sebagai jargon di baliho?
- Details
- Hits: 795
Menjelang gelaran pilkada pada tahun 2024 kemarin, suhu politik di berbagai daerah memanas. Maraknya ikon-ikon partai yang bertebaran, mulai dari baliho para calon kandidat yang bertebaran di pinggir jalan, mesin politik mulai digerakkan, dan elite-elite partai kembali turun dan tampil kepada masyarakat dengan berbagai narasi dan janji-janji yang disampaikan baik di tingkat daerah maupun pusat. Di tengah gegap gempita masa itu, muncul satu pertanyaan reflektif yang seharusnya kita renungkan: Apakah partai politik masih berperan dalam penyaluran aspirasi rakyat, atau hanya sekedar mesin elektoral yang hidup dalam lima tahun sekali.
- Details
- Hits: 5850
Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan pemerintahan Prabowo Subianto pada awal 2025, hadir dengan janji besar untuk menyediakan makanan bergizi bagi 82 juta anak sekolah. Tujuannya sangat mulia yakni untuk membangun generasi sehat dan cerdas sebagai fondasi visi "Indonesia Emas." Lebih dari sekadar gizi, program ini menjadi simbol komitmen negara kepada anak-anaknya, dari Sabang hingga Merauke. Namun, harapan itu kini memudar di tengah kenyataan pahit. Lebih dari 7.000 anak dilaporkan keracunan setelah menyantap makanan dari program ini. Kasus terbaru di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, di mana puluhan siswa dilarikan ke rumah sakit karena makanan yang diduga tak layak, menjadi bukti nyata kegagalan ini. Krisis ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga guncangan terhadap kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Di balik piring sekolah yang dijanjikan bergizi, ada masalah pelaksanaan yang kurang tepat, pengelolaan yang belum optimal, dan kekhawatiran yang kini dirasakan orang tua di Indonesia.
- Details
- Hits: 507
Di ekosistem media sosial yang serba terhubung, terarsip, dan mudah ditelusuri, mahasiswa khususnya Generasi Z semakin sadar bahwa jejak digital bukan sekadar 鈥減ostingan hari ini鈥, melainkan portofolio diri yang terus menempel. Dalam konteks inilah 鈥渁kun kedua鈥 (second account) hadir bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai perangkat manajemen privasi: sebuah cara menata batas privat鈥損ublik agar identitas, peran sosial, dan relasi tetap terjaga. Jika akun utama berfungsi sebagai etalase rapi, representatif, dan ditujukan pada audiens luas (keluarga, dosen, rekan kerja, institusi) maka akun kedua adalah ruang terbatas dengan pengikut terkurasi, tempat pemilik akun menetapkan aturan berbagi sesuai kebutuhan dan nilai-nilai personal.
- Details
- Hits: 2738
Gelombang demo besar-besaran terjadi di depan Gedung DPR RI pada 25 Agustus 2025 lalu. Aksi tuntutan ini juga turut meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Kejadian ini merupakan buntut dari menyebarnya di media sosial isu terkait kenaikan tunjangan DPR yang menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat. Tunjangan yang diberikan kepada DPR dinilai tidak sebanding dengan kinerja perwakilan rakyat yang dinilai tidak mewakili suara masyarakat kecil. Demonstran menuntut adanya pembubaran DPR serta pencabutan tunjangan yang dinilai berlebihan hingga mencapai Rp 100 juta per bulan. Padahal di sisi lain, banyak masyarakat Indonesia yang masih berada dalam garis kehidupan tidak layak dan belum mendapatkan perhatian dari pemerintah.

